SEJARAH/LEGENDA DESA TINGGARSARI
SEJARAH/LEGENDA DESA TINGGARSARI
JASMERAH, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, demikian kata Bung Karno, presiden pertama Republik ini, pada pidato terakhirnya tanggal 17 Agustus 1966. Hal ini penting untuk mengetahui jati diri kita, sebagai penerang untuk menata masa depan yang lebih cerah. Pesan ini menguatkan keinginan mengetahui sejarah tempat desa saya, tempat tumpah darah yang selalu dirindukan dimanapun berada. Oleh karena itu, setiap kali ada kesempatan bertatap muka dengan para sesepuh, para pemangku desa, dan para pemimpin di desa, selalu dimanfaatkan untuk bertanya dan berdiskusi, hasilnya kisah berikut ini.
Tersebutlah sebuah kerajaan kecil di daerah "Pekandengan", kerajaan ini mengalami kemajuan baik secara ekonomi, spiritual dan kependudukan. Masyarakat hidup rukun dan damai, berdampingan satu sama lainya dan saling menghormati, saling menjaga, dan saling menghargai, konon mereka dipinpin oleh seorang bangsawan yang kharismatik, Pemimpin yang arif dan bijaksana.
Pada suatu hari daerah ini didatangi oleh sekelompok pendatang yang mengaku sebagai "pengalu" (pedagang keliling), yang sedang meraih rejeki dengan berjualan dari satu tempat ke tempat lain, setelah berkeliling cukup lama, dari satu desa ke desa lainnya, sampailah di daerah "Pekandengan", mereka kelelahan, Karena kecapean, dan mereka memohon untuk di ijinkan menginap di daerah kerajaan kecil ini.
Penduduk di kerajaan Pekandengan merasa iba / kasihan melihat keadaan para "pengalu" dan akhirnya diajaklah mereka bermalam di setiap rumah penduduk. Entah apa yang terjadi pada malam hari, "pengalu" tersebut menyerang dan membunuh rakyat kerajaan Pekandengan, sebagian besar menggunakan bambu runcing, Pedang dan lainya, sehingga peperanganpun tidak bisa dielakan, banyak orang terbunuh, dari kedua belah pihak, tapi tampaknya para pedagang ini sangat terampil dalam strategi perang, mereka memiliki keahlian perang yang cukup tinggi, sementara para penduduk tidak siap, karena diserang secara mendadak, sehingga para penduduk "Pekandengan" menjadi terdesak. Satu persatu mereka terluka, tersungkur dan terbunuh, melihat kejadian ini, pemimpin meminta mundur dan melarikan diri untuk mengecoh musuh, mereka berlari berpencar arah, salah satu tempat yang dituju adalah daerah Seronggo, di Kerambitan, Tabanan.
Ternyata, para pengalu itu adalah para prajurit dari Kerajaan Majapahit yang bertugas melenyapkan semua keturunan para Raja-raja Bali (Kerajaan Kelungkung) yang menentang kekuasaan Majapahit di Bali. Mereka yang tinggal di kerajaan kecil Pekandengan itu adalah keturunan Raja Kelungkung. Mereka khawatir kerajaan-kerajaan kecil ini berkembang menjadi kerajaan besar (seperti kisah kerajaan Majapahit, yang berawal dari Kerajaan Kecil di daerah yang ada buah Maja yang rasanya pahit) kelak bisa menjadi hambatan menguasai Bali sepenuhnya.
Para penduduk yang selamat tidak berani kembali ke Pekandengan, sementara bersembunyi di daerah Seronggo, beberapa waktu kemudian, mereka mengetahui bahwa daerah asalnya Pekandengan sudah aman dan para pengalu telah meninggalkan tempat itu, mereka kembali ke Pekandengan. Setibanya di sana, semua rumah hancur, bau amis di sepanjang jalan, banyak darah berceceran dimana-mana dan mayat-mayat berserakan.
Setelah menguburkan mayat-mayat itu, para penduduk merasa tempat ini sudah tidak nyaman lagi sebagai tempat tinggal, mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan mencari tempat baru yang lebih nyaman dan aman untuk tempat tinggal. Mereka mengikuti jalan setapak, bulu kuduk mereka berdiri, ketika mencium bau amis darah dan melihat darah berceceran dan tergenang dimana-mana (Mekabang-kabang), kemudian daerah itu diberinama "KABANG-KABANG."
Daerah inipun tidak nyaman dijadikan tempat tinggal, mereka melanjutkan perjalanan ke arah barat, disitu ada banyak bekas-bekas pohon Bambu 'buluh" (salah satu jenis bambu yang sangat tajam ketika dipotong, karena ketajamannya bambu ini biasanya digunakan sebagai pisau/peniti, atau pisau untuk memetong ayam/bebek). Karena saat bertempur para pengalu banyak yang bersenjata bambu runcing, mereka memperkirakan pohon-pohon bambu itulah yang ditebang oleh para "pengalu". Tempat itu kemudian dikenal dengan "BULUHE".
Rasa kesal, sedih, bercampur aduk menyaksikan bekas-bekas bambu yang ditebang, terbayang dalam benak mereka, dengan senjata ini, para kerabat, saudara dan teman-teman mereka dibunuh. Daerah inipun tidak nyaman untuk menetap, kemudian para penduduk melanjutkan perjalanan menuju ke bawah, mereka sampai di banjar "Belah Manukan / Nyapih". Tampaknya tempat ini lebih nyaman dan aman untuk ditempati, akhirnya mereka memutuskan tinggal disana, memulai hidup baru dengan bercocok tanam.
Masa depan adalah misteri, berkah tidak bisa diharap, bencanapun tidak bisa ditolak, perjalanan hidup mereka kembali diuji, pada suatu malam, badai hujan lebat disertai angin ribut menimpa penduduk di "banjar Belah Manukan". Badai ini menyebabkan banjir dan longsor besar (di sebelah timur pura "desa/puseh" sekarang). Banyak sekali penduduk yang meninggal dunia tertimpa longsor.
Sebagian dari menyelamatkan diri dengan menaiki pohon. Setelah badai reda, para penduduk yang selamat menaiki bukit yang lebih tinggi, menetap dan tinggal di sana, Banjar "Belah Manukan" berkembang pesat menjadi sebuah desa Belah Manukan. Beberapa waktu kemudian, nama desa ini diganti, menjadi menjadi Desa Tinggarsari. Tinggarsari berasal dari kata ”Tinggar” /Miring (karena longsor) yang membawa berkah (“Mesari”). Lama kelamaan daerah ini berkembang pesat, karena tanahnya subur, kaya akan sumber mata air, menjadi daerah yang makmur, para penduduk hidup dengan bertani dan berkebun, mereka menanam padi, kopi, cengkeh, pisang, coklat, mangga, rambutan, dan lainya. Sejak itulah desa ini dikenal dengan nama Desa Tinggarsari.